08 October 2008

Tertib berlalu-lintas menurur PP No. 43 Tahun 1993 pada bab VIII

Bagian Pertama: Penggunaan Jalur Jalan
Pasal 51
(1) Tata cara berlalu lintas di jalan adalah dengan mengambil jalur jalan sebelah kiri.

Bagian kedua: Gerakan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor
Paragraf 1
Tata Cara Melewati

Pasal 52
Pengemudi yang akan melewati kendaraan lain harus mempunyai pandangan bebas dan menjaga ruang yang cukup bagi kendaraan yang dilewatinya.
Pengemudi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengambil lajur atau jalur jalan sebelah kanan dari kendaraan yang dilewati.
Dalam keadaan tertentu pengemudi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat mengambil lajur atau jalur jalan sebelah kiri dengan tetap memperhatikan keselamatan lalu lintas.

Pasal 53
Pengemudi harus memperlambat kendaraannya apabila akan melewati:
a.kendaraan umum yang sedang berada pada tempat turun- naik penumpang;

Pasal 54
1.Pengemudi mobil bus sekolah yang sedang berhenti untuk menurunkan dan atau menaikkan anak sekolah wajib menyalakan tanda lampu berhenti mobil bus sekolah.

Pasal 55
Pengemudi dilarang melewati:
a.kendaraan lain di persimpangan atau persilangan sebidang
b.kendaraan lain yang sedang memberi kesempatan menyeberang kepada pejalan kaki

Pasal 56
Pengemudi yang akan dilewati kendaraan lain wajib :
a.memberikan ruang gerak yang cukup bagi kendaraan yang akan melewati;
b.memberi kesempatan atau menjaga kecepatan sehingga dapat dilewati dengan aman.

Pasal 58
Pada jalan tanjakan atau menurun yang tidak memungkinkan bagi kendaraan untuk saling berpapasan, pengemudi kendaraan yang arahnya turun harus memberi kesempatan jalan kepada kendaraan yang menanjak.

Paragraf 3
Tata Cara Membelok

Pasal 59
Pengemudi yang akan membelok atau berbalik arah, harus mengamati situasi lalu lintas di depan, samping dan belakang kendaraan dan wajib memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat lengannya. ( liat spion kiri & kanan, lampu sein nyalain. Ok )

Pengemudi yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping, harus mengamati situasi lalu lintas di depan, samping dan belakang kendaraan serta memberikan isyarat. ( suka lupa nih, ngasih isyarat. Langsung hajar aja )
3.Pengemudi dapat langsung belok ke kiri pada setiap persimpangan jalan, kecuali ditentukan lain oleh rambu-rambu atau alat pemberi isyarat lalu lintas pengatur belok kiri.

Paragraf 4
Tata Cara Memperlambat Kendaraan

Pasal 60
Pengemudi yang akan memperlambat kendaraannya, harus mengamati situasi lalu lintas di samping dan belakang kendaraan serta memperlambat kendaraan dengan cara yang tidak membahayakan kendaraan lain.

Paragraf 5
Posisi Kendaraan di Jalan

Pasal 61
Pada jalur yang memiliki dua atau lebih lajur searah, kendaraan yang berkecepatan lebih rendah daripada kendaraan lain harus mengambil lajur sebelah kiri. ( ini nih alasan Polisi, motor harus pake lajur kiri di Jakarta. Terus dikomplain ama Departemen Perhubungan yang ngerasa kewengannya ngatur jalan di ambil Polisi “ ribut jadinya “ =>cape deeeeh )

Pada jalur searah yang terbagi atas dua atau lebih lajur, gerakan perpindahan kendaraan ke lajur lain harus memperhatikan situasi kendaraan di depan, samping dan belakang serta memberi isyarat dengan lampu penunjuk arah.

Pada jalur searah yang terbagi atas dua atau lebih lajur yang dilengkapi rambu-rambu dan atau marka petunjuk kecepatan masing-masing lajur, maka kendaraan harus berada pada lajur sesuai kecepatannya.

Pada persimpangan yang dikendalikan dengan bundaran, gerakan kendaraan harus memutar atau memutar sebagian bundaran searah jarum jam, kecuali ditentukan lain yang dinyatakan dengan rambu-rambu dan atau marka jalan.
( yang ini udah jelas banget ya )

Paragraf 6
Jarak Antara Kendaraan

Pasal 62
Pengemudi pada waktu mengikuti atau berada di belakang kendaraan lain, wajib menjaga jarak dengan kendaraan yang berada didepannya.

( jaga jarak, jangan masuk wilayah blindspot. Tau – tau di depan ada lobang, nyungsep entaar kaya pengalamannya Lamno )

Bagian ketiga: Berhenti dan Parkir
Pasal 66
1.Setiap jalan dapat dipergunakan sebagai tempat berhenti atau parkir apabila tidak dilarang oleh rambu-rambu atau marka atau tanda-tanda lain atau di tempat-tempat tertentu.

Bagian Keempat Penggunaan Peralatan dan Perlengkapan Kendaraan Bermotor
Pasal 70
Pengemudi dan penumpang kendaraan bermotor roda dua atau kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah, wajib menggunakan helm.

Tuh, Helm pake inget Helm….helm….dan helm ( half face / full face )
Nah yang berikutnya sangat penting lagi, pastikan anda membacanya !!!!

Bagian Kelima Peringatan dengan Bunyi dan Penggunaan Lampu
Paragraf 1
Peringatan Dengan Bunyi

Pasal 71
1.Isyarat peringatan dengan bunyi yang berupa klakson dapat digunakan apabila :
a.diperlukan untuk keselamatan lalu lintas.
b.melewati kendaraan bermotor lainnya.
2.Isyarat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang digunakan oleh pengemudi:
a.pada tempat-tempat tertentu yang dinyatakan dengan rambu-rambu;
b.apabila isyarat bunyi tersebut mengeluarkan suara yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor.

Pasal 72
Isyarat peringatan dengan bunyi yang berupa sirene hanya dapat digunakan oleh :
Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas termasuk kendaraan yang diperbantukan untuk keperluan pemadaman kebakaran.

Ambulans yang sedang mengangkut orang sakit;
Kendaraan jenazah yang sedang mengangkut jenazah;
Kendaraan petugas penegak hukum tertentu yang sedang melaksanakan tugas;
Kendaraan petugas pengawal kendaraan kepala negara atau pemerintah asing yang menjadi tamu negara.
Tuh kan komunitas / klub motor kagak ada disitu !! Makanya jangan pake sirine, kecuali motor lu jadi pengangkut jenazah.Hiii…hiii…. ada penampakan.

Bagian Ketujuh: Kecepatan Maksimum dan atau Minimum Kendaraan Bermotor
Pasal 80
Kecepatan maksimum yang diizinkan untuk kendaraan
bermotor :
Sytem jaringan jalan primer untuk :
Mobil penumpang, mobil bus dan mobil barang serta sepeda motor adalah 100 kilometer perjam;

Pasal 81
1. Untuk keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas, dapat ditetapkan kecepatan maksimum yang lebih rendah dari ketentuan kecepatan maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80.

2. Penetapan batas kecepatan maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan penetapan batas kecepatan minimum dilakukan dengan memperhatikan karakteristik lalu lintas, kondisi jalan, dan kondisi lingkungan.

3. Batas kecepatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), harus dinyatakan dengan rambu-rambu.

Pentingnya Safety Riding Bagi Setiap Pengendara

Penegakan Hukum Solusi Atasi Macet
Mungkin Gottlieb Daimler and Wilhelm Maybach sebagai perancang pertama sepeda motor pada tahun 1885 tak pernah membayangkan fenomena sepeda motor di Jakarta saat ini.
Saat jumlah sepeda motor begitu booming di Jakarta, dan membawa segudang masalah termasuk tingginya fatalitas korban kecelakaan di jalan raya, maka dianggaplah sepeda motor sebagai biang kerok kesemrawutan lalu lintas di Jakarta.
Tetapi disisi lain motor adalah alat penolong warga Jakarta dan sekitar dalam menghadapi persoalan transportasi darat. Pemerintah sendiri melonggarkan kebijakan pemilikan motor karena melihatnya sebagai salah satu instrumentasi pendapatan, didukung begitu kuatnya para pengusaha mengemas hukum hukum ekonomi sehingga menggelapkan pandangan visioner dari pengambil kebijakan.
Kalau mau jujur, kemacetan di Jakarta bukan hanya faktor sepeda motor, tetapi juga karena amburadulnya sistim transportasi darat kita dan terutama pada sistim transportasi publik. Persoalan lain adalah pertumbuhan ruas jalan yang maksimal 0,01% per tahun jauh jomplang dengan perkembangan jumlah kendaraan yang setiap harinya bertambah 269 unit mobil baru dan 1.235 unit motor baru di Jakarta (Kompas, 20 Juni 2008). Ruas jalan semakin sempit lagi dengan program Transjakarta yang ternyata tidak termasuk perencanaan kota.
Lalu siapa lagi yang mau disalahkan, Angkot? Angkot alias angkutan perkotaan memang sangat senang berhenti sembarangan menaikkan atau menurunkan penumpang. Jalan pun jadi macet. Spontan kita menyalahkan angkot sebagai penyebab kemacetan. Tapi kita lupa menyadari bahwa supir angkot mendapatkan penghasilan berbasis dari berapa banyak dia bisa mendapatkan penumpang bukan penghasilan tetap perhari-perminggu atau perbulan. Kita juga lupa bahwa pada saat saat tertentu jumlah angkot tidak seimbang dengan jumlah penumpang yang harus diangkut.
Kesalahan kemudian ditimpakan juga kepada mobil pribadi. Pengguna mobil pun tak mau disalahkan, kareana kenyataannya mereka tidak bisa beralih ke angkutan umum, karena angkutan umum kita masih jorok, tidak aman dan tidak tepat waktu.
Walhasil, semua pihak saling menyalahkan. Kemacetan tetap saja terjadi setiap hari. Ujungnya berefek kepada kerugian ekonomi yang besar,dimana tidak hanya menghambat roda ekonomi namun juga pemborosan energi 5,7 triliun rupiah (sumber: Tempo Interaktif, Rabu, 22 aret 2006).
Hutan Rimba, Hukum Rimba
Saat ini kondisi jalan raya di Jakarta sudah seperti hutan rimba. Lihat saja, aturan main mana saat ini yang tidak dilanggar. Mulai dari kelayakan angkutan umum sampai dengan berhenti di bawah rambu larangan parkir. Kita semua tahu dan sadar bahwa di Jakarta ini ada seperangkat aturan main yang mengatur kenyamanan masyarakat bertransportasi di kota ini. Namun kenyataan sehari-hari masih jauh panggang dari api. Bukan hukum dan aturan lalu lintas yang dipakai, tapi hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang menang. Masing masing pengendara berjuang untuk survive di hutan rimba jalan raya.
Seperangkat pasal peraturan lalu lintas pun nyaris tidak berfungsi. Ada aturan layak jalan untuk kendaraan, namun tetap saja bajay dan bus dengan asap hitam dapat beroperasi. Hampir disetiap perempatan lampu merah serombongan pengendara sepeda motor berhenti di jalur zebra cross, angkot dan bus kota ngetem seenaknya di mulut-mulut jalan, mobil dan motor parkir di trotoar dan dibawah rambu larangan parkir. Perilaku pengemudi transjakarta pun seringkali tidak mencerminkan awak kendaraan yang profesional, dibanyak titik masih ditemui beberapa pengemudi berhenti jauh di depan garis stop dan melibas zebra cross yang merupakan hak pejalan kaki. Bahkan disaat ada kesempatan berani untuk menerobos lampu merah. Tidak ada bedanya dengan pengendara angkutan umum biasa. Hanya saja mereka berdasi dan berjas. Ada ribuan pelanggaran lainnya yang berimbas terhadap keruwetan dan kesemrawutan yang berujung bertambahnya kemacetan jalan raya di Jakarta.
Ketidakkonsistenan pemerintah menegakkan aturan lalu lintas ikut menyumbang porsi besar atas kesemrawutan ini. Lihat saja, aturan menyalakan lampu sepeda motor di siang hari dan menggunakan lajur kiri bagi sepeda motor. Nasib serupa dialami dengan peraturan kewajiban melakukan uji emisi. Ibarat peribahasa hangat-hangat tahi ayam, di awal peraturan keluar semangat, tapi setelah itu longgar lagi. Walhasil, tak ada efek jera dan disiplin bagi masyarakat, selanjutnya ada dan tidak ada peraturan sama saja !
The Window Breaking Theory
Muncullah begitu banyak wacana solusi jangka pendek untuk mengatasi kesemerawutan tata transportasi di Jakarta : Angkutan masal yang murah dan nyaman sebagai bagian dari pola transportasi yang ideal, usulan tentang kuota penjualan dan peredaran kendaraan pribadi, pembenahan izin mengemudi, izin kelayakan kendaraan, penataan parkir, kepatuhan terhadap rambu rambu lalu lintas, perbaikan koordinasi perizinan pekerjaan perbaikan infrastruktur yang berpotensi menimbulkan kemacetan, dll.
Namun yang paling utama harus dibenahi adalah penegakan peraturan dan penindakan tegas bagi para pelanggar lalu lintas. Sungguh sayang dana yang sudah terpakai untuk mewujudkan seperangkat aturan jika nantinya hanya menjadi lembar tak berguna. Setidaknya ini sebagai modal awal sambil menunggu terwujudnya pola transportasi makro yang ideal di Jakarta.
Jika pemerintah mau bertindak tegas terhadap para pelanggar, paling tidak 25% dari jumlah kemacetan mungkin bisa dikurangi. Seluruh peraturan dilaksanakan secara konsisten sehingga fungsi infrastruktur transportasi pun dapat maksimal. Tentunya perkara mendisiplinkan orang bukan urusan yang mudah, tapi hal ini wajib dilakukan. Ketidaktersediaan sumberdaya jangan selalu dijadikan alasan ketidakmampuan pemerintah untuk memberlakukan sanksi yang tegas bagi para pelanggar aturan tanpa pandang bulu. Peraturan harus ditegakkan secara konsisten dan terus menerus dengan segala upaya dan mekanisme yang ada.
Penerapan tegas aturan three in one bisa menjadi contoh. Di luar masalah perjokian, pemerintah dinilai cukup sukses untuk menjalankan program ini. Masyarakat jera dan peduli untuk tidak melanggar. Pun jika ada jumlah pelanggar hanya satu dua setiap harinya. Langkah tegas seperti ini jika dilaksanakan dengan sistematis akan mengeliminir kekhawatiran Ditlantas Polda Metro Jaya yang saat ini lebih memprioritaskan kelancaran lalu lintas, ketimbang penegakan hukum ( Kompol Sambodo, koord Trafic Manjement Centre, pada Safety Riding Course HTML untuk PT Connel Wagner Indonesia, 5 Juli 2008 ).
Tak pernah habis orang berbicara dan menganalisa tentang kemacetan lalu lintas karena kemacetan di Jakarta dan sekitarnya yang merupakan puncak gunung es dari masalah transportasi darat. Kemacetan bukanlah sebab, tetapi akibat dari sejumlah persoalan lalu lintas yang tak pernah tertuntaskan.
The window breaking theory yang terkenal efektif untuk menertibkan masyarakat kota New York dan fans fanatik klub sepak bola Inggris yang terkenal brutal tersebut bisa menjadi salah satu solusi menarik. Aturan yang baik dan kuat tidak akan berjalan tanpa implementasi konsisten dan sanksi tegas yang tidak pandang bulu.
Tentu saja ini adalah langkah jangka pendek, sambil menunggu baiknya sistim tranportasi secara keseluruhan, sambil berharap bahwa kemacetan akhirnya tidak dijadikan komoditi politik dari para penguasa(SY)*