20 March 2009

Manfaat Sarung Tangan dan Kegunaannya

Sarung tangan merupakan salah satu item terpenting dalam menerapkan safety riding dalam bersepeda motor. Sarung tangan atau glove akan melindungi telapak tangan para biker dari pendarahan hebat saat mengalami kecelakaan. Sebaiknya anda simak beberapa yang harus anda perhatikan saat memilih sarung tangan.

Pilihlah sarung tangan yang sesuai dengan peruntukannya seperti sarung tangan untuk turing dan balapan tentu berbeda, baik jenis bahan dan bentuknya. Pilih sarung tangan dengan kualitas jahitan yang bagus, hal ini agar bisa menahan segala bentuk gesekan maupun tubrukan yang terjadi.

Untuk sarung tangan berbahan kulit, pilihlah yang agak tebal. Perhatikan bantalan pada permukaan telapak tangan agar cukup aman dan kuat. Pastikan sarung tangan cukup pas pada saat dipakai, jangan terlalu sempit dan jangan terlalu longgar. Pastikan juga sarung tangan yang anda pilih cukup nyaman untuk dipakai. Coba gerakan seluruh jari-2 anda dan pastikan tangan anda tidak sakit karena terjepit oleh jahitan pada sambungan. Usahakan memilih sarung tangan penuh sampai menutupi pergelangan agar tangan bisa terlindung dari gesekan jaket, angin maupun hujan.

Jenis bahan baku sarung tangan Textile. Sarung tangan dengan bahan tekstil biasanya dirancang untuk melindungi tangan dari cuaca seperti cipratan air, hujan maupun debu. Jenis bahan yang digunakan bisa berupa Kevlar, Ballistic Nylon dan lain-lain. Ada beberapa produsen yang membuat sarung tangan dengan mengkombinasikan jenis bahan tekstil dan kulit.

Kelebihannya adalah harganya relatif sama daripada sarung tangan kulit, tergantung dari jenis bahannya. Sarung tangan berbahan tekstil lebih fleksibel untuk memiliki warna, pola dan style yang berbeda karena fleksibilitas bahannya. Bahan tekstil mampu menahan gesekan dan relatif kuat.

Kekurangannya adalah pada jenis bahan tertentu, sarung tangan berbahan tekstil harga bisa lebih mahal daripada kulit. Tingkat keluwesan bahan masih kalah dengan kulit.

Sarung Kulit. Sarung tangan berbahan kulit bisa jadi sudah ada sejak sepeda motor pertama kali dibuat. Kemampuan sarung tangan jenis ini dalam hal kualitas dan keamanannya tergantung dari jenis kulit dan ketebalan kulit yang digunakan. Semakin tebal semakin aman untuk digunakan.

Kelebihannya adalah harga relatif sama dengan berbahan tekstil. Lebih mudah diperbaiki atau ditambal kalau sobel atau bolong. Jika kualitas kulitnya cukup baik, sarung tangan jenis ini biasanya lembut dan nyaman untuk dipakai. Mampu mempertahanan kehangatan telapak tangan kalau digunakan berkendara di malam hari atau hujan.

Kekurangannya adalah tidak anti air dan mudah mengkerut atau menyusut saat basah. Mudah luntur sehingga membuat noda hitam di telapak tangan. Mampu melindungi tangan dari luka lecet dengan sangat baik tapi mudah bocor. Semoga hal ini berguna untuk anda.


(Sumber : Motorplus-online.com)

Pentingnya Safety Riding Bagi Setiap Pengendara

Penegakan Hukum Solusi Atasi Macet
Mungkin Gottlieb Daimler and Wilhelm Maybach sebagai perancang pertama sepeda motor pada tahun 1885 tak pernah membayangkan fenomena sepeda motor di Jakarta saat ini.
Saat jumlah sepeda motor begitu booming di Jakarta, dan membawa segudang masalah termasuk tingginya fatalitas korban kecelakaan di jalan raya, maka dianggaplah sepeda motor sebagai biang kerok kesemrawutan lalu lintas di Jakarta.
Tetapi disisi lain motor adalah alat penolong warga Jakarta dan sekitar dalam menghadapi persoalan transportasi darat. Pemerintah sendiri melonggarkan kebijakan pemilikan motor karena melihatnya sebagai salah satu instrumentasi pendapatan, didukung begitu kuatnya para pengusaha mengemas hukum hukum ekonomi sehingga menggelapkan pandangan visioner dari pengambil kebijakan.
Kalau mau jujur, kemacetan di Jakarta bukan hanya faktor sepeda motor, tetapi juga karena amburadulnya sistim transportasi darat kita dan terutama pada sistim transportasi publik. Persoalan lain adalah pertumbuhan ruas jalan yang maksimal 0,01% per tahun jauh jomplang dengan perkembangan jumlah kendaraan yang setiap harinya bertambah 269 unit mobil baru dan 1.235 unit motor baru di Jakarta (Kompas, 20 Juni 2008). Ruas jalan semakin sempit lagi dengan program Transjakarta yang ternyata tidak termasuk perencanaan kota.
Lalu siapa lagi yang mau disalahkan, Angkot? Angkot alias angkutan perkotaan memang sangat senang berhenti sembarangan menaikkan atau menurunkan penumpang. Jalan pun jadi macet. Spontan kita menyalahkan angkot sebagai penyebab kemacetan. Tapi kita lupa menyadari bahwa supir angkot mendapatkan penghasilan berbasis dari berapa banyak dia bisa mendapatkan penumpang bukan penghasilan tetap perhari-perminggu atau perbulan. Kita juga lupa bahwa pada saat saat tertentu jumlah angkot tidak seimbang dengan jumlah penumpang yang harus diangkut.
Kesalahan kemudian ditimpakan juga kepada mobil pribadi. Pengguna mobil pun tak mau disalahkan, kareana kenyataannya mereka tidak bisa beralih ke angkutan umum, karena angkutan umum kita masih jorok, tidak aman dan tidak tepat waktu.
Walhasil, semua pihak saling menyalahkan. Kemacetan tetap saja terjadi setiap hari. Ujungnya berefek kepada kerugian ekonomi yang besar,dimana tidak hanya menghambat roda ekonomi namun juga pemborosan energi 5,7 triliun rupiah (sumber: Tempo Interaktif, Rabu, 22 aret 2006).
Hutan Rimba, Hukum Rimba
Saat ini kondisi jalan raya di Jakarta sudah seperti hutan rimba. Lihat saja, aturan main mana saat ini yang tidak dilanggar. Mulai dari kelayakan angkutan umum sampai dengan berhenti di bawah rambu larangan parkir. Kita semua tahu dan sadar bahwa di Jakarta ini ada seperangkat aturan main yang mengatur kenyamanan masyarakat bertransportasi di kota ini. Namun kenyataan sehari-hari masih jauh panggang dari api. Bukan hukum dan aturan lalu lintas yang dipakai, tapi hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang menang. Masing masing pengendara berjuang untuk survive di hutan rimba jalan raya.
Seperangkat pasal peraturan lalu lintas pun nyaris tidak berfungsi. Ada aturan layak jalan untuk kendaraan, namun tetap saja bajay dan bus dengan asap hitam dapat beroperasi. Hampir disetiap perempatan lampu merah serombongan pengendara sepeda motor berhenti di jalur zebra cross, angkot dan bus kota ngetem seenaknya di mulut-mulut jalan, mobil dan motor parkir di trotoar dan dibawah rambu larangan parkir. Perilaku pengemudi transjakarta pun seringkali tidak mencerminkan awak kendaraan yang profesional, dibanyak titik masih ditemui beberapa pengemudi berhenti jauh di depan garis stop dan melibas zebra cross yang merupakan hak pejalan kaki. Bahkan disaat ada kesempatan berani untuk menerobos lampu merah. Tidak ada bedanya dengan pengendara angkutan umum biasa. Hanya saja mereka berdasi dan berjas. Ada ribuan pelanggaran lainnya yang berimbas terhadap keruwetan dan kesemrawutan yang berujung bertambahnya kemacetan jalan raya di Jakarta.
Ketidakkonsistenan pemerintah menegakkan aturan lalu lintas ikut menyumbang porsi besar atas kesemrawutan ini. Lihat saja, aturan menyalakan lampu sepeda motor di siang hari dan menggunakan lajur kiri bagi sepeda motor. Nasib serupa dialami dengan peraturan kewajiban melakukan uji emisi. Ibarat peribahasa hangat-hangat tahi ayam, di awal peraturan keluar semangat, tapi setelah itu longgar lagi. Walhasil, tak ada efek jera dan disiplin bagi masyarakat, selanjutnya ada dan tidak ada peraturan sama saja !
The Window Breaking Theory
Muncullah begitu banyak wacana solusi jangka pendek untuk mengatasi kesemerawutan tata transportasi di Jakarta : Angkutan masal yang murah dan nyaman sebagai bagian dari pola transportasi yang ideal, usulan tentang kuota penjualan dan peredaran kendaraan pribadi, pembenahan izin mengemudi, izin kelayakan kendaraan, penataan parkir, kepatuhan terhadap rambu rambu lalu lintas, perbaikan koordinasi perizinan pekerjaan perbaikan infrastruktur yang berpotensi menimbulkan kemacetan, dll.
Namun yang paling utama harus dibenahi adalah penegakan peraturan dan penindakan tegas bagi para pelanggar lalu lintas. Sungguh sayang dana yang sudah terpakai untuk mewujudkan seperangkat aturan jika nantinya hanya menjadi lembar tak berguna. Setidaknya ini sebagai modal awal sambil menunggu terwujudnya pola transportasi makro yang ideal di Jakarta.
Jika pemerintah mau bertindak tegas terhadap para pelanggar, paling tidak 25% dari jumlah kemacetan mungkin bisa dikurangi. Seluruh peraturan dilaksanakan secara konsisten sehingga fungsi infrastruktur transportasi pun dapat maksimal. Tentunya perkara mendisiplinkan orang bukan urusan yang mudah, tapi hal ini wajib dilakukan. Ketidaktersediaan sumberdaya jangan selalu dijadikan alasan ketidakmampuan pemerintah untuk memberlakukan sanksi yang tegas bagi para pelanggar aturan tanpa pandang bulu. Peraturan harus ditegakkan secara konsisten dan terus menerus dengan segala upaya dan mekanisme yang ada.
Penerapan tegas aturan three in one bisa menjadi contoh. Di luar masalah perjokian, pemerintah dinilai cukup sukses untuk menjalankan program ini. Masyarakat jera dan peduli untuk tidak melanggar. Pun jika ada jumlah pelanggar hanya satu dua setiap harinya. Langkah tegas seperti ini jika dilaksanakan dengan sistematis akan mengeliminir kekhawatiran Ditlantas Polda Metro Jaya yang saat ini lebih memprioritaskan kelancaran lalu lintas, ketimbang penegakan hukum ( Kompol Sambodo, koord Trafic Manjement Centre, pada Safety Riding Course HTML untuk PT Connel Wagner Indonesia, 5 Juli 2008 ).
Tak pernah habis orang berbicara dan menganalisa tentang kemacetan lalu lintas karena kemacetan di Jakarta dan sekitarnya yang merupakan puncak gunung es dari masalah transportasi darat. Kemacetan bukanlah sebab, tetapi akibat dari sejumlah persoalan lalu lintas yang tak pernah tertuntaskan.
The window breaking theory yang terkenal efektif untuk menertibkan masyarakat kota New York dan fans fanatik klub sepak bola Inggris yang terkenal brutal tersebut bisa menjadi salah satu solusi menarik. Aturan yang baik dan kuat tidak akan berjalan tanpa implementasi konsisten dan sanksi tegas yang tidak pandang bulu.
Tentu saja ini adalah langkah jangka pendek, sambil menunggu baiknya sistim tranportasi secara keseluruhan, sambil berharap bahwa kemacetan akhirnya tidak dijadikan komoditi politik dari para penguasa(SY)*